ChatGPT Dituntut karena “Asbun”, Tuding Pria Tak Bersalah Pembunuh San Francisco – Kecerdasan buatan (AI) kembali menjadi sorotan publik global setelah kasus hukum menimpa salah satu platform AI paling populer, ChatGPT. OpenAI, perusahaan di balik teknologi chatbot berbasis AI tersebut, kini menghadapi gugatan hukum serius di Amerika Serikat. Penyebabnya? ChatGPT disebut menyebarkan informasi palsu yang menuding seseorang sebagai pembunuh, padahal pria tersebut tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal apa pun.
Kasus ini memicu perdebatan etis dan hukum terkait tanggung jawab platform AI atas informasi yang mereka hasilkan. Ini juga menjadi pengingat bahwa kecanggihan teknologi tidak selalu lepas dari risiko.
Kronologi Kejadian
Artikel Fiktif yang Menyesatkan

Peristiwa bermula saat seorang jurnalis teknologi, Mark Walters, mengetes kemampuan ChatGPT dalam menyusun ringkasan berita. Saat diminta membuat ringkasan terkait kasus pembunuhan tahun 2021 yang melibatkan seorang politisi, ChatGPT menyebut nama Mark secara eksplisit sebagai pelaku pembunuhan.
Padahal, tidak ada bukti, dokumen, atau catatan hukum yang menunjukkan keterlibatan Mark dalam kasus tersebut. Nama yang disebutkan ChatGPT muncul dari narasi yang sepenuhnya fiktif.
Kerugian Reputasi

Mark Walters kemudian menggugat OpenAI karena merasa nama baik dan reputasinya rusak akibat informasi palsu tersebut. Ia juga menyatakan bahwa hasil ChatGPT dapat diakses siapa saja dan berpotensi menyebarkan fitnah secara masif dalam hitungan detik.
Isi Gugatan
Dalam dokumen gugatan yang diajukan ke pengadilan federal, pengacara Walters menyebut bahwa:
- ChatGPT bertindak seolah memiliki otoritas fakta, padahal hasilnya bisa tidak akurat.
- OpenAI lalai memberikan peringatan yang cukup jelas kepada pengguna bahwa hasil chatbot tidak selalu faktual.
- Gugatan menuntut ganti rugi dan perubahan kebijakan penggunaan ChatGPT agar lebih transparan soal batasan dan risiko AI.
Tanggapan OpenAI
Hingga berita ini diturunkan, OpenAI belum memberikan komentar resmi terkait gugatan tersebut. Namun dalam pernyataan sebelumnya, perusahaan menyebut bahwa ChatGPT adalah alat bantu berbasis prediksi teks dan tidak dirancang sebagai sumber informasi faktual.
OpenAI juga menambahkan bahwa mereka telah memperbarui sistem peringatan dan filter untuk meminimalisir informasi menyesatkan, namun mengakui tidak bisa menjamin akurasi 100 persen.
Implikasi Hukum dan Etika
Tantangan Regulasi AI
Kasus ini menjadi ujian besar bagi regulasi teknologi AI di Amerika Serikat dan dunia. Sejauh mana platform AI bisa dimintai pertanggungjawaban atas konten yang mereka hasilkan masih menjadi wilayah abu-abu.
Risiko Disinformasi
Akademisi dari Stanford Law School menyebut bahwa kasus ini dapat membuka pintu bagi regulasi yang lebih ketat terhadap AI, terutama jika hasil teknologi ini berpotensi menyebabkan kerugian nyata bagi individu atau kelompok.
ChatGPT Dituntut
Kasus ChatGPT yang menuding pria tak bersalah sebagai pembunuh membuka babak baru dalam perdebatan global seputar kecerdasan buatan. Meski AI menawarkan manfaat luar biasa, tetap ada risiko besar jika teknologi ini digunakan tanpa kendali dan tanggung jawab.
Transparansi, akurasi, dan pengawasan menjadi kunci agar AI tetap menjadi alat bantu, bukan sumber masalah.